FIQH
Disusun
untuk melengkapi makalahAS-SIASAHT
Oleh
:
T.
Alfurqanulhad
Dosenpembimbing :
Edi DarmawijayaM.Ag
FAKULTAS
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Sehubungan dengan banyaknya penyelewengan kekuasaan dan
korupsi di dunia menyebabkan banyaknya permasalahan yang muncul, dengan itu diperlukan
suatu hukum dan peraturan yang kuat dan tegas dalam menaggapi permasalahan tersebut,
hukum tersebut di dalam islam terdapat pada Al-Qur’an,Al-Hadist,Ijma’ ulama dan
qiyas.
Makalah
ini membahas tentang pengertian dan penjelasan siasaht yang bisa membuat kita mengerti bahwa bagaimana sebenarnya konteks kepemimpinan dan politikya
diperbolehkan pada Al-Qur’an dan hadist,maka dengan mempelajari materi ini membuat kita semua tahu hukum, hikmah dan sanksi
yang telah ditetapkan islam terhadap pelaksanaan politik islam itu sendiri.
Judul makalah ini dipilih mengacu pada masalah
yang muncul di kehidupan saat ini dan sebagai tugas fiqih tentang siasaht
II.
PERUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
masalah-masalah yang dibahas pada makalah ini adalah :
1.
Bagaimana deskripsi tentang siasaht?
2.
Bagaimana deskripsi tentang mengambil hukum dan
peraturan di dalam siasaht?
3.
Bagaimana deskripsi membandingkan, mengukur dan
menyamakan poltik islam dengan politik liberal yang sumuanya diatur di dalam siasaht.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN SIASAHT
Pengertian Siasah Dari
Perspektif Bahasa ‘Arab
Siasah
dalam bahasa ‘Arab berasal dari perkataan “sasa” (ساس) atau “sawasa” (سوس) Dari segi bahasa,
ia mempunyai berbagai maksud dan pengertian, seperti memberi petunjuk, arahan,
disiplin, suruhan dan larangan. Ia berpacu pada kemampuan pemerintahan atau kepimpinan.[1]
PengertianSiasah Dari PerspektifSyara’
Perkataan
siasah tidak disebutkan di dalam al-Quran, walaupun banyak hadith yang mengatakan
tentang pengertian siasah seperti di atas. Di dalam hadith ada diriwayatkan
pengertian “siasah”. Sabda Nabi SAW:
كادتبنوإسرائيلتسوسهمالأنبياء، كلماهلكنبي خلفه نبي …))رواهالبخاريومسلم
Yang artinya: “Bani Israel nyaris para nabi memerintah
mereka. Setiap kali mati seorang nabi, maka digantikan dengan nabi yang lain..”
(HR Al-Bukhari dan Muslim)
Jelaslah
di sini bahwa perkataan siasah di dalam syara’ digunakan seperti mana takrifan
bahasa. Jadi bermaksud: Perkara yang dilakukan pemerintah atau pemimpin
terhadap rakyat, yang bermanfaat, baik, dan berguna untuk merekaberbentuk
suruhan, larangan, petunjuk dan kedisiplinan. Takrifan ini jelas menunjukkan
sudut praktikal siasah. Siasah di sini adalah segala urusan, kerja dan tindakan
pengislahan.[2]
SiasahmenurutPandanganFuqaha
Mereka
mempunyai dua pendapat mengenaiperkara siasah, yaitu:
1.
Segala tindakan atau perbuatan yang mendekatkan manusia kepada kebaikan
(maslahah) dan menjauhkan mereka keburukan (mafsadah). Walaupun ia tidak
disyariatkan oleh Rasulullah SAW dan wahyu tidak mengatakan tentangnya. Selagi
mana ia tidak bertentangan dengan syara’.
2.
Dalam lingkungan bab jinayah dan hukuman berat. Bahkan sama maknanya dengan ta’zir.
Ini merupakan pandangan kebanyakan fuqaha Mazhab Hanafi. Skopnya lebih sempit dibandingkan
dengan pandangan pertama.
B.
PEMBAGIAN SIASAHT
Siasah
berdasarkan sumbernya, terbagi kepada dua bagian utama, yaitu: Siasah Diniyyah dan Siasah ‘Aqliyyah. Ibn Khaldun
menerangkan perkara ini dan mengatakan tentang keperluan terwujudnya kanun-kanun
siasah yang menjadi kata pemutus (qawanin siasah mafrudhoh) di dalam negara
yang diterima oleh semua. Katanya: “Sekiranya kanun perundangan ini diputuskan
oleh golongan bijak pandai dan pembesar-pembesar negara serta cendiakawannya,
maka ia adalah Siasah ‘Aqliyyah. Sekiranya ia merupakan perintah daripada Allah
dengan syari’at yang diputuskan dan disyari’atkannya, maka ia adalah Siasah
Diniyyah”.[3]
Bertolak
belakang daripada pembahagian terhadap siasah, Ibnu khaldun juga menerangkan
jenis-jenis Nizam Siasi yang ada. Dia menyebut: “Kerajaan Siasi: Ia
memimpin rakyat berdasarkan pandangan akal dalam memperoleh kebaikan duniawi
dan menolak keburukan. Khilafah: Ia memimpin rakyat berdasarkan pandangan
syara’ dalam kebaikan ukhrawi dan duniawi yang menuju ke arah ukhrawi”.
Jelas
di dalam kata-kata Ibnu Khaldun mengenai kanun perundangan siasah, aspeknya
adalah siasah dengan mengsifatkannya sebagai undang-undang yang memerintah.
Pembicaraannya ini hampir menyerupai pembicaraan “Al-Ahkam As-Sultoniyyah”. Oleh
karena itu, siasah mempunyai dua aspek: aspek piawaian yang menyeluruh dan
aspek pelaksaan dan ‘amali.
Ternyata
perkataan siasah sebelum ini tidak digabungkan bersama dengan perkataan
syar’iyyah, kerana siasah itu bermaksud pengislahan. Malahan pengislahan yang
sebenar tidak akan berlaku melainkan dengan syara’. Apabila para pemerintah
tidak lagi memahami siasah Rasulullah SAW dalam pemerintahan, serta siasah
mereka menyalahi syara’, maka timbullah istilah Siasah Syar’iyyah. Ia bertujuan
untuk membezakannya dengan siasah yang zalim. Ia juga dinamakan dengan Siasah
‘Adilah. Perkara ini dapat diperhatikan melalui tulisan Ibn Taymiyyah dan Ibn
Al-Qayyim.
C. AL-IMAMAH
Secara linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan
yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu
Mandzur mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan
suatu komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan.
Sedangkan secara istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan dengan beragam.
Al Mawardi memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam
menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan. At Tafazani
mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat universal dalam
mengatur urusan agama dan keduniaan. Ibn Khaldun mengatakan imamah
adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat
guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat.[4]
Hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia
dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat.
Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan
tertinggi dalam negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama
dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian
maslahat bagi umat di dunia dan akhirat.[5]
Kata imamah, amirul mukminin, dan khalifah mempunyai bentuk satu arti yaitu
suatu jabatan tertinggi dalam suatu negara. Sejarah telah membuktikan bahwa
Rasulullah, para Shahabat dan Tabi’in tidak membedakanya. Oleh sebab itu para
ulama fiqih juga tidak memisahkan ketiga istilah tersebut, sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh imam Nawawi dan Ibn Khaldun.
Dalammendefinisikan Negara Islam
paraulamamempunyaiduapandanganyaitu:
a.
Negara Islam harusberdasarkanpada perlaksanaan hukum Islam dan
sistemnya.
b.
Negara Islam diasaskan kepada keadaan keamanan
Muslim dan kawasannya.
Hukum mendirikan imamah
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa mendirikan sebuah negara
adalah suatu hal yang wajib dilakukan menurut logika akal manusia. Hal ini
dikarenakan setiap manusia adalah makhluk sosial yang sangat saling membutuhkan
antara satu sama lain. Oleh sebab itu dalam membentuk sebuah komunitas
masyarakat haruslah ada seorang pemimpin yang mengatur kehidupan mereka. Nabi
bersabda :
اذا خرج
ثلاثة في سفر فليو’مروا أحدهم
Ketika tiga orang sedang bepergian maka hendaklah satu orang
diantara mereka diangkat menjadi pemimpin.[6]
Sedangkan hukum mendirikan negara para pakar hukum Islam
berbeda pendapat. Mayoritas mereka, seperti dari golongan Ahli Sunnah, Murjiah,
Syiah, dan sebagian besar Mu’tazilah serta Khawarij berpendapat bahwa
mendirikan pemerintahan Islam adalah suatu hal yang wajib. Ibn Hazm mengatakan
bahwa dalam diri umat Islam harus ada sistem pemerintahan yang wajib ditaati.
Hal ini tidaklah lain hanya untuk menegakkan hukum Allah dan pengaturan sistem
kemasyarakatan yang berlandaskan syariat untuk mencapai kemaslahatan.
Dasar-dasar yang melandasi pendapat golongan ini:
1.
Firman Allah
ياايهاالذين
أمنوا أطيعواالله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Hai
orang-orang yang beriman taatlah kalian semua pada Allah, Rasulullah, dan Ulil
Amri diantara kamu.
Ibn
Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dikehendaki dari ulil
amri adalah umum untuk seluruh para pemimpin baik penguasa pemerintah
ataupun para ulama.
2.
Hadist nabi
من مات و ليس
في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Barang
siapa yang mati sedangkan dia tidak dalam kekuasaan baiat khalifah maka dia
mati secara jahiliah.
3.
Kosensus para shahabat dan tabi’in
tentang wajibnya imamah. Hal ini bisa dibuktikan dengan bergegasnya para
shahabat untuk membaiat Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’adah sebagai Amirul
Mukminin.
Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa hukum mendirikan
imamah adalah tidak wajib tapi cuma mubah. Mereka diantaranya adalah Abu Bakar
al Asham dari golongan Mu’tazilah, Hisyam Al Fuwathi, Ubad bin Sulaiman dari
Mu’tazilah, Dhirar, dan sebagian kecil ulama Khawarij. Al Asham berkata :
لو تكاف
الناس عن التظالم لاستغنوا عن الامام
Seandainya
saja masyarakat bisa meninggalkan perbuatan lalim maka mereka tidak lagi
membutuhkan bentuk pemerintahan.
Golongan ini sangat berpegang teguh dan mendambakan
persamaan hak asasi manusia. Anggapan mereka sistem pemerintahan sangat
bersebrangan dengan konsep persamaan derajat karena disertai dengan pemaksaan
dan penindasan dari penguasa. Kalaupun imamah diartikan sebagai alat untuk
merealisasikan hukum-hukum Islam, maka hal itu tidak akan mengubah hukumnya
menjadi wajib. Karena antara imamah dan tanfidzul hukmi (realisasi
hukum Islam) adalah dua kutub yang berbeda dan tidak saling berkaitan.
Realisasi hukum syariat harus berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan dari
penguasa yang mendorongnya. Bahkan mereka menganggap adanya imamah akan merusak
kemerdekaan hak asasi manusia dan kebebasan berpikir. Sehingga dengan adanya
imamah akan banyak menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam diri umat
Islam.[7]
Pendapat sebagian kecil ulama ini banyak ditentang oleh para fuqaha ( pakar
hukum Islam). Sebenarnya dampak kemaslahatan yang ditimbulkan dari sistem
imamah lebih besar dari pada kerugianya. Sehingga dalam menarik ulur dua
kerugian haruslah dipilih yang lebih ringan. Bahkan kebebasan sebenarnya yang
mencakup hak asasi manusia dan berpikir akan lebih terkoordinasi dengan adanya
imamah untuk melindungi dan menjaga hak orang lain supaya tidak tertindas.
Dalam mendirikan negara Islam para ulama berpendapat bahwa
dalam penjuru dunia harus ada satu pemerintah Islam. Islam adalah agama
kesatuan dan umatnya harus berbentuk satu kesatuan yang tidak bercerai berai
dan saling bahu membahu. Rasulullhah bersabda:
اذا بويع
لخليفتين فاقتلوا الاخر منهما
Artinya :Apabila telah dibaiat dua khalifah maka perangilah salah
satunya.
Oleh sebab itu mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tidak
boleh ada 2 imam baik dalam lingkup satu kawasan ataupun beberapa kawasan. Akan
tetapi ada segolongan ulama seperti imam Haramain, Abu Mansur, al Baghdadi, Abu
Shabah as Samarqandi dan beberapa ulama mutaakhirin mengatakan bahwa ta’adudul
imam (banyak imam) dalam penjuru dunia diperbolehkan. Bahkan menurut imam
Zaidiyah ketika
batas teretorial dalam sebuah wilayah sudah jelas maka boleh mendirikan
pemerintahan Islam demi untukmenjagakemaslahatanumat.
D. SYARAT-SYARAT DAN TUGAS IMAM
Imam Mawardi memberikan batas-batas seseorang
yang boleh menjadi imam, sebagai berikut:
1)
Islam,
merdeka, laki-laki, baligh, danberakal.
2)
A’dalah (adil)
yaitu selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal
yang dilarang agama.
3)
Mempunyai pengetahuan
dan pengalaman yang mencukupi baik dalam masalah keagamaan maupun keduniaan.
4)
Punya kepribadian
yang kuat, pemberani, dan tidak mudah menyerah
Dalam memimpin sebuah Negara, seorang
imam mempunyai tugas-tugas yang harus dilaksanakan guna mencapai kemakmuran
Negara dan rakyatnya. Para ulama memberikan cakupan tentang tugas-tugas
yang menjadi kewajiban imam.
1.
Menjaga dan melestarikan hukum-hukum
keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta membrantas tindakan-tindakan
yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat Islam.
2.
Memerangi musuh
yang mengancam keamanan Negara dan bangsa.
3.
Mengatur pemasukan
dan pengeluaran keuangan Negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah wajib.
4.
Menjaga keamanan
dan keadilan warganya
Tata cara pengangkatan imam.
Ditinjau dari pendekatan historis, dalam pengangkatan kepala
Negara umat Islam mempunyai beberapa tata cara:
1. Intikhab (pemilihan langsung)
Tata cara dengan pemilihan langsung terjadi
pada masa khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Sejarah telah mencatat bahwa
tidak ada orang yang menolak pengangkatan imam dengan pemilihan langsung. Hanya
saja dalam pemilihan harus diserahkan sepenuhnya kepada Ahlul Halli wal Aqdi.
Ahlul Halli wal Aqdi adalah suatu lembaga
yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai pengetahuan agama, budi pekerti,
dan ilmu yang memadai dalam mengatur masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam pemerintahan
Islam mereka juga disebut dengan “Ahlul ikhtiyar”(orang-orang yang bertugas memilih
imam dengan menggantikan hak pilih yang dimiliki rakyat), “Ahlus Syura”(lembaga permusyawaratan), dan “Ahlut Tadbir” (lembaga yang mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan).[8]
Dalam menentukan jumlah Ahlul Halli wal
Aqdi para ulama mempunyai beranekaragam
pendapat. Akan tetapi secara subtansial Ahlul Halli wal Aqdi adalah penyambung lidah
rakyat.Sesuatu yang sudah menjadi pilihan dan keinginan rakyat akan disalurkan dan
dimanifestasikan lewat mereka. Oleh sebab itu, syariat dalam memberi batasan dan memasukkan
kriteria-kriteria Ahlul
Halli wal Aqdi sangat ketat. Imam Mawardi memberikan syarat-syarat Ahlul
Halli wal Aqdi sebagai berikut:
·
A’dalah, yaitu karakter untuk selalu konsisten menjaga ketaqwaan dan muru’ah
(harga diri).
·
Mempunyai ilmu yang bisa digunakan
untuk mengetahui pribadi seseorang yang berhak menjadi imam.
·
Mempunyai pendapat dan kebijaksanaan dalam mengatur kepemerintahan dan memecahkan
masalah-masalah social kewarganegaraan.
Tugas-tugas Ahlul Halli wal Aqdi:
·
Memilih kepala Negara dan membaiatnya (melantiknya)
·
Mengklasifikasi para kandidat imam yang sudah memenuhi kriteria.
·
Memilih imam yang kelakakan lebih banyak memberikan kemanfaatan dan kemakmuran
untuk umat.
·
Menurunkan dan mencopot imam dari jabatanya ketika adahal-hal yang
menyebabkan imam harus diganti.
2.
Istikhlaf (mencari pengganti)
Istikhlaf adalah proses pengangkatan dari imam lama kepada
imam baru yang dianggap memiliki kopetensi dalam memegang dan memimpin sebuah
negara dengan mendapat persetujuan dari Ahlul Halli wal Aqdi. Istikhlaf juga
sering disebut dengan al ‘ahdu atau washiat. Dalam sejarah tata cara
proses pengangkatan seperti ini terjadi pada masa khlifah Abu Bakar dalam
memilih Umar untuk menggantikanya. Imam Nawawi dalam Shahih Muslim mengatakan
bahwa kaum muslimin telah sepakat jika seorang khalifah merasa akan mendekati
ajal maka dia diperkenankan untuk mencari pengganti orang lain dengan mengikuti
Abu Bakar, atau mengikuti jejak Rasul dengan tidak mencari pengganti.[9]
3.
Qahru wal
Ghalabah (kudeta)
Qahru wal Ghalabah adalah tata cara proses pengangkatan imam yang tidak
disepakati oleh ulama. Sebenarnya model ke tiga ini adalah tata cara yang tidak
dilegalkan oleh syariat. Akan tetapi hal ini diperbolehkan hanya untuk menjaga
kemaslahatan umat Islam dan menjaga terjadinya pertumpahan darah diantara
mereka. Dalam hal ini imam Syafii mengatakan “barang siapa yang mampu
mengkudeta seorang khalifah walaupun dengan kekerasan dan pedang sedangkan
rakyat mengakuinya sebagai khalifah maka dia bisa dinamakan dengan khalifah”.
Hanya saja ketika yang melakukan kudeta adalah orang kafir maka bagi seluruh
umat muslim di negara itu wajib untuk memeranginya karena syarat beragama Islam
selamanya harus dipenuhi oleh orang yang menjadi imam.
E.
AL-RA'I DAN AL-RA'IYAH
Allah SWT menciptakan manusia sebagai masterpiece dari
seluruh ciptaannya. Manusia dianugerahi gelar sebagai ahsanu takwim, sebaik-baiknya
ciptaan, sebagaimana tertulis di Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4.
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Telah kami ciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS At-Tin: 4)
Karena manusia
terlahir sebagai khalifah fil ardh, tugas selanjutnya adalah
menggali potensi kepemimpinannya yang bertujuan memberikan pelayanan serta
pengabdian yang diniatkan semata-mata karena amanah Allah, yaitu dengan cara
memainkan perannya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang
ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah
ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in
bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya.
Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan
ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta
tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian
adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya.”(HR: Bukhari dan
Muslim)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Siasaht memiliki pengertian memberi
petunjuk, arahan, disiplin, suruhan dan larangan. Siasaht di dalam al-quran tidaklah diatur secara rinci,tetapi hanya dibahas
secara umum. Penjelasan siasaht dan al-imamah banyak terdapat didalam hadist Rasulullah
SAW dan pendapat para ulama. Secara umum siasaht dibagi dua, yaitu Siasah Diniyyah
dan Siasah ‘Aqliyyah.
Al-imamah berarti pemimpin atau setiap orang yang telah diangkat
menjadi pimpinan.menurut mayoritas para ulama berpendapat bahwa
al-imamah adalah suatu yang wajib dilakukan. Syarat-syarat al-imamah meliputi islam,baliqh,berakal,adil,memiliki
pengalaman dan kepribadian yang baik. Sementara tugas al-imamah mencakup menjaga
dan melestarikan hukum-hukumkeagamaan, memerangimusuh yang mengancam keamanan negara
dan bangsa, mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan negara, menjaga keamanan
dan keadilan warganya.
Allah menciptakan manusia sebagai masterpiece di dunia
ini,manusia di anugerahi gelar
sebagai ahsanu takwim, sebaik-baiknya ciptaan. Tetapi,biarpun kita dijadikan khilafah di bumi Allah
ini, jangan lupa bahwa kita merupakan hamba Allah yang lemah dan kita haruslah melaksanakan
perintahnya.Semoga kita tetap didalam ridha-Nya.
Sabiq,
sayyid, fiqihsunnah, 2012, Jakarta,
Al-I’tishom
Az-zuhaili,
wahbah, fiqihislamwaadillatuhujilid 8,
1997, beirut, Darulfikir
Ad Damiji,
Abdullah ibn Umar, 1409 H, Al
imamah Al u’dzma, Riyadz, Darut Thibah. DewanRedaksi
Ensiklopedi Islam. Eksiklopediislam1999.
Jakarta: PT. Ichtiar Baru
http://www.wikipedia.co.id