Senin, 31 Maret 2014

makalah fiqh tentang siasaht

FIQH
Disusun untuk melengkapi makalahAS-SIASAHT

Oleh :
T. Alfurqanulhad

Dosenpembimbing :
Edi DarmawijayaM.Ag




FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
      I.            LATAR BELAKANG MASALAH
Sehubungan dengan banyaknya penyelewengan kekuasaan dan korupsi di dunia menyebabkan banyaknya permasalahan yang muncul, dengan itu diperlukan suatu hukum dan peraturan yang kuat dan tegas dalam menaggapi permasalahan tersebut, hukum tersebut di dalam islam terdapat pada Al-Qur’an,Al-Hadist,Ijma’ ulama dan qiyas.
Makalah ini membahas tentang pengertian dan penjelasan siasaht yang bisa membuat kita mengerti bahwa bagaimana sebenarnya konteks kepemimpinan dan politikya diperbolehkan pada Al-Qur’an dan hadist,maka dengan mempelajari materi ini membuat kita semua tahu hukum, hikmah dan sanksi yang telah ditetapkan islam terhadap pelaksanaan politik islam itu sendiri.
Judul makalah ini dipilih mengacu pada masalah yang muncul di kehidupan saat ini dan sebagai tugas fiqih tentang siasaht
   II.            PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah-masalah yang dibahas pada makalah ini adalah :
1.      Bagaimana deskripsi tentang siasaht?
2.      Bagaimana deskripsi tentang mengambil hukum dan peraturan di dalam siasaht?
3.      Bagaimana deskripsi membandingkan, mengukur dan menyamakan poltik islam dengan politik liberal yang sumuanya diatur di dalam siasaht.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN SIASAHT
Pengertian Siasah Dari Perspektif Bahasa ‘Arab
Siasah dalam bahasa ‘Arab berasal dari perkataan “sasa” (ساس) atau “sawasa” (سوس) Dari segi bahasa, ia mempunyai berbagai maksud dan pengertian, seperti memberi petunjuk, arahan, disiplin, suruhan dan larangan. Ia berpacu pada kemampuan pemerintahan atau kepimpinan.[1]
PengertianSiasah Dari PerspektifSyara’
                Perkataan siasah tidak disebutkan di dalam al-Quran, walaupun banyak hadith yang mengatakan tentang pengertian siasah seperti di atas. Di dalam hadith ada diriwayatkan pengertian “siasah”. Sabda Nabi SAW:
كادتبنوإسرائيلتسوسهمالأنبياء، كلماهلكنبي خلفه نبي …))رواهالبخاريومسلم
Yang artinya: “Bani Israel nyaris para nabi memerintah mereka. Setiap kali mati seorang nabi, maka digantikan dengan nabi yang lain..” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Jelaslah di sini bahwa perkataan siasah di dalam syara’ digunakan seperti mana takrifan bahasa. Jadi bermaksud: Perkara yang dilakukan pemerintah atau pemimpin terhadap rakyat, yang bermanfaat, baik, dan berguna untuk merekaberbentuk suruhan, larangan, petunjuk dan kedisiplinan. Takrifan ini jelas menunjukkan sudut praktikal siasah. Siasah di sini adalah segala urusan, kerja dan tindakan pengislahan.[2]
SiasahmenurutPandanganFuqaha
Mereka mempunyai dua pendapat mengenaiperkara siasah, yaitu:
1.  Segala tindakan atau perbuatan yang mendekatkan manusia kepada kebaikan (maslahah) dan menjauhkan mereka keburukan (mafsadah). Walaupun ia tidak disyariatkan oleh Rasulullah SAW dan wahyu tidak mengatakan tentangnya. Selagi mana ia tidak bertentangan dengan syara’.
2.  Dalam lingkungan bab jinayah dan hukuman berat. Bahkan sama maknanya dengan ta’zir. Ini merupakan pandangan kebanyakan fuqaha Mazhab Hanafi. Skopnya lebih sempit dibandingkan dengan pandangan pertama.

B.   PEMBAGIAN  SIASAHT
Siasah berdasarkan sumbernya, terbagi kepada dua bagian utama, yaitu: Siasah Diniyyah dan Siasah ‘Aqliyyah. Ibn Khaldun menerangkan perkara ini dan mengatakan tentang keperluan terwujudnya kanun-kanun siasah yang menjadi kata pemutus (qawanin siasah mafrudhoh) di dalam negara yang diterima oleh semua. Katanya: “Sekiranya kanun perundangan ini diputuskan oleh golongan bijak pandai dan pembesar-pembesar negara serta cendiakawannya, maka ia adalah Siasah ‘Aqliyyah. Sekiranya ia merupakan perintah daripada Allah dengan syari’at yang diputuskan dan disyari’atkannya, maka ia adalah Siasah Diniyyah”.[3]
Bertolak belakang daripada pembahagian terhadap siasah, Ibnu khaldun juga menerangkan jenis-jenis Nizam Siasi yang ada. Dia menyebut: “Kerajaan Siasi: Ia memimpin rakyat berdasarkan pandangan akal dalam memperoleh kebaikan duniawi dan menolak keburukan. Khilafah: Ia memimpin rakyat berdasarkan pandangan syara’ dalam kebaikan ukhrawi dan duniawi yang menuju ke arah ukhrawi”.
Jelas di dalam kata-kata Ibnu Khaldun mengenai kanun perundangan siasah, aspeknya adalah siasah dengan mengsifatkannya sebagai undang-undang yang memerintah. Pembicaraannya ini hampir menyerupai pembicaraan “Al-Ahkam As-Sultoniyyah”. Oleh karena itu, siasah mempunyai dua aspek: aspek piawaian yang menyeluruh dan aspek pelaksaan dan ‘amali.
Ternyata perkataan siasah sebelum ini tidak digabungkan bersama dengan perkataan syar’iyyah, kerana siasah itu bermaksud pengislahan. Malahan pengislahan yang sebenar tidak akan berlaku melainkan dengan syara’. Apabila para pemerintah tidak lagi memahami siasah Rasulullah SAW dalam pemerintahan, serta siasah mereka menyalahi syara’, maka timbullah istilah Siasah Syar’iyyah. Ia bertujuan untuk membezakannya dengan siasah yang zalim. Ia juga dinamakan dengan Siasah ‘Adilah. Perkara ini dapat diperhatikan melalui tulisan Ibn Taymiyyah dan Ibn Al-Qayyim.

C.   AL-IMAMAH
Secara linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu Mandzur mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan. Sedangkan secara istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan dengan beragam. Al Mawardi memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan. At Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan. Ibn Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat.[4]
Hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat. Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan akhirat.[5]
            Kata imamah, amirul mukminin, dan khalifah mempunyai bentuk satu arti yaitu suatu jabatan tertinggi dalam suatu negara. Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah, para Shahabat dan Tabi’in tidak membedakanya. Oleh sebab itu para ulama fiqih juga tidak memisahkan ketiga istilah  tersebut, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh imam Nawawi dan Ibn Khaldun.

Dalammendefinisikan Negara Islam paraulamamempunyaiduapandanganyaitu:
a.       Negara Islam harusberdasarkanpada perlaksanaan hukum Islam dan sistemnya.
b.       Negara Islam diasaskan kepada keadaan keamanan Muslim dan kawasannya.

     Hukum mendirikan imamah
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa mendirikan sebuah negara adalah suatu hal yang wajib dilakukan menurut logika akal manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia adalah makhluk sosial yang sangat saling membutuhkan antara satu sama lain. Oleh sebab itu dalam membentuk sebuah komunitas masyarakat haruslah ada seorang pemimpin yang mengatur kehidupan mereka. Nabi bersabda :
اذا خرج ثلاثة في سفر فليو’مروا أحدهم
Ketika tiga orang sedang bepergian maka hendaklah satu orang diantara mereka diangkat menjadi pemimpin.[6]
Sedangkan hukum mendirikan negara para pakar hukum Islam berbeda pendapat. Mayoritas mereka, seperti dari golongan Ahli Sunnah, Murjiah, Syiah, dan sebagian besar Mu’tazilah serta Khawarij berpendapat bahwa mendirikan pemerintahan Islam adalah suatu hal yang wajib. Ibn Hazm mengatakan bahwa dalam diri umat Islam harus ada sistem pemerintahan yang wajib ditaati. Hal ini tidaklah lain hanya untuk menegakkan hukum Allah dan pengaturan sistem kemasyarakatan yang berlandaskan syariat untuk mencapai kemaslahatan.
Dasar-dasar yang melandasi pendapat golongan ini:
1.      Firman Allah
ياايهاالذين أمنوا أطيعواالله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian semua pada Allah, Rasulullah, dan Ulil Amri diantara kamu.
Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dikehendaki dari ulil amri adalah umum untuk seluruh para pemimpin baik penguasa pemerintah ataupun para ulama.
2.      Hadist nabi
من مات و ليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Barang siapa yang mati sedangkan dia tidak dalam kekuasaan baiat khalifah maka dia mati secara jahiliah.
3.      Kosensus para shahabat dan tabi’in tentang wajibnya imamah. Hal ini bisa dibuktikan dengan bergegasnya para shahabat untuk membaiat Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’adah sebagai Amirul Mukminin.
Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa hukum mendirikan imamah adalah tidak wajib tapi cuma mubah. Mereka diantaranya adalah Abu Bakar al Asham dari golongan Mu’tazilah, Hisyam Al Fuwathi, Ubad bin Sulaiman dari Mu’tazilah, Dhirar, dan sebagian kecil ulama Khawarij. Al Asham berkata :
لو تكاف الناس عن التظالم لاستغنوا عن الامام
Seandainya saja masyarakat bisa meninggalkan perbuatan lalim maka mereka tidak lagi membutuhkan bentuk pemerintahan.

Golongan ini sangat berpegang teguh dan mendambakan persamaan hak asasi manusia. Anggapan mereka sistem pemerintahan sangat bersebrangan dengan konsep persamaan derajat karena disertai dengan pemaksaan dan penindasan dari penguasa. Kalaupun imamah diartikan sebagai alat untuk merealisasikan hukum-hukum Islam, maka hal itu tidak akan mengubah hukumnya menjadi wajib. Karena antara imamah dan tanfidzul hukmi  (realisasi hukum Islam) adalah dua kutub yang berbeda dan tidak saling berkaitan. Realisasi hukum syariat harus berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan dari penguasa yang mendorongnya. Bahkan mereka menganggap adanya imamah akan merusak kemerdekaan hak asasi manusia dan kebebasan berpikir. Sehingga dengan adanya imamah akan banyak menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam diri umat Islam.[7]
            Pendapat sebagian kecil ulama ini banyak ditentang oleh para fuqaha ( pakar hukum Islam). Sebenarnya dampak kemaslahatan yang ditimbulkan dari sistem imamah lebih besar dari pada kerugianya. Sehingga dalam menarik ulur dua kerugian haruslah dipilih yang lebih ringan. Bahkan kebebasan sebenarnya yang mencakup hak asasi manusia dan berpikir akan lebih terkoordinasi dengan adanya imamah untuk melindungi dan menjaga hak orang lain supaya tidak tertindas.
Dalam mendirikan negara Islam para ulama berpendapat bahwa dalam penjuru dunia harus ada satu pemerintah Islam. Islam adalah agama kesatuan dan umatnya harus berbentuk satu kesatuan yang tidak bercerai berai dan saling bahu membahu. Rasulullhah bersabda:

اذا بويع لخليفتين فاقتلوا الاخر منهما
Artinya :Apabila telah dibaiat dua khalifah maka perangilah salah satunya.

Oleh sebab itu mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tidak boleh ada 2 imam baik dalam lingkup satu kawasan ataupun beberapa kawasan. Akan tetapi ada segolongan ulama seperti imam Haramain, Abu Mansur, al Baghdadi, Abu Shabah as Samarqandi dan beberapa ulama mutaakhirin mengatakan bahwa ta’adudul imam (banyak imam) dalam penjuru dunia diperbolehkan. Bahkan menurut imam Zaidiyah ketika batas teretorial dalam sebuah wilayah sudah jelas maka boleh mendirikan pemerintahan Islam demi untukmenjagakemaslahatanumat.

D.   SYARAT-SYARAT DAN TUGAS IMAM
Imam Mawardi memberikan batas-batas seseorang yang boleh menjadi imam, sebagai berikut:
1)      Islam, merdeka, laki-laki, baligh, danberakal.
2)      A’dalah (adil) yaitu selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
3)      Mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi  baik dalam masalah keagamaan maupun keduniaan.
4)      Punya kepribadian yang kuat, pemberani, dan tidak mudah menyerah
Dalam memimpin sebuah Negara, seorang imam mempunyai tugas-tugas yang harus dilaksanakan  guna mencapai kemakmuran Negara dan rakyatnya. Para ulama memberikan cakupan tentang tugas-tugas  yang menjadi kewajiban imam.
1.      Menjaga dan melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat Islam.
2.      Memerangi musuh yang mengancam keamanan Negara dan bangsa.
3.      Mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan Negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah wajib.
4.      Menjaga keamanan dan keadilan warganya



   Tata cara pengangkatan imam.
Ditinjau dari pendekatan historis, dalam pengangkatan kepala Negara umat Islam mempunyai beberapa tata cara:
1.      Intikhab (pemilihan langsung)
Tata cara dengan pemilihan langsung terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Sejarah telah mencatat bahwa tidak ada orang yang menolak pengangkatan imam dengan pemilihan langsung. Hanya saja dalam pemilihan harus diserahkan sepenuhnya kepada Ahlul Halli wal Aqdi.
Ahlul Halli wal Aqdi adalah suatu lembaga yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai pengetahuan agama, budi pekerti, dan ilmu yang memadai dalam mengatur masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam pemerintahan Islam mereka juga disebut dengan “Ahlul ikhtiyar”(orang-orang yang bertugas memilih imam dengan menggantikan hak pilih yang dimiliki rakyat), “Ahlus Syura”(lembaga permusyawaratan), dan “Ahlut Tadbir(lembaga yang mengatur masalah-masalah kemasyarakatan).[8]
Dalam menentukan jumlah Ahlul Halli wal Aqdi para ulama mempunyai beranekaragam pendapat. Akan tetapi secara subtansial Ahlul Halli wal Aqdi adalah penyambung lidah rakyat.Sesuatu yang sudah menjadi pilihan dan keinginan rakyat akan disalurkan dan dimanifestasikan lewat mereka. Oleh sebab itu, syariat dalam memberi batasan dan memasukkan kriteria-kriteria Ahlul Halli wal Aqdi sangat ketat. Imam Mawardi memberikan syarat-syarat Ahlul Halli wal Aqdi sebagai berikut:
·         A’dalah, yaitu karakter untuk selalu konsisten menjaga ketaqwaan dan muru’ah (harga diri).
·         Mempunyai ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui pribadi seseorang yang berhak menjadi imam.
·         Mempunyai pendapat dan kebijaksanaan dalam mengatur kepemerintahan dan memecahkan masalah-masalah social kewarganegaraan.


Tugas-tugas Ahlul Halli wal Aqdi:
·         Memilih kepala Negara dan membaiatnya (melantiknya)
·         Mengklasifikasi para kandidat imam yang sudah memenuhi kriteria.
·         Memilih imam yang kelakakan lebih banyak memberikan kemanfaatan dan kemakmuran untuk umat.
·         Menurunkan dan mencopot imam dari jabatanya ketika adahal-hal yang menyebabkan imam harus diganti.

2.      Istikhlaf  (mencari pengganti)
Istikhlaf adalah proses pengangkatan dari imam lama kepada imam baru yang dianggap memiliki kopetensi dalam memegang dan memimpin sebuah negara dengan mendapat persetujuan dari Ahlul Halli wal Aqdi. Istikhlaf juga sering disebut dengan al ‘ahdu atau washiat. Dalam sejarah tata cara proses pengangkatan seperti ini terjadi pada masa khlifah Abu Bakar dalam memilih Umar untuk menggantikanya. Imam Nawawi dalam Shahih Muslim mengatakan bahwa kaum muslimin telah sepakat jika seorang khalifah merasa akan mendekati ajal maka dia diperkenankan untuk mencari pengganti orang lain dengan mengikuti Abu Bakar, atau mengikuti jejak Rasul dengan tidak mencari pengganti.[9]


3.      Qahru wal Ghalabah (kudeta)
Qahru wal Ghalabah adalah tata cara proses pengangkatan imam yang tidak disepakati oleh ulama. Sebenarnya model ke tiga ini adalah tata cara yang tidak dilegalkan oleh syariat. Akan tetapi hal ini diperbolehkan hanya untuk menjaga kemaslahatan umat Islam dan menjaga terjadinya pertumpahan darah diantara mereka. Dalam hal ini imam Syafii mengatakan “barang siapa yang mampu mengkudeta seorang khalifah walaupun dengan kekerasan dan pedang sedangkan rakyat mengakuinya sebagai khalifah maka dia bisa dinamakan dengan khalifah”. Hanya saja ketika yang melakukan kudeta adalah orang kafir maka bagi seluruh umat muslim di negara itu wajib untuk memeranginya karena syarat beragama Islam selamanya harus dipenuhi oleh orang yang menjadi imam.

E.   AL-RA'I DAN AL-RA'IYAH
Allah SWT menciptakan manusia sebagai masterpiece dari seluruh ciptaannya. Manusia dianugerahi gelar sebagai ahsanu takwim, sebaik-baiknya ciptaan, sebagaimana tertulis di Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4.
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS At-Tin: 4)

Karena manusia terlahir sebagai khalifah fil ardh, tugas selanjutnya adalah menggali potensi kepemimpinannya yang bertujuan memberikan pelayanan serta pengabdian yang diniatkan semata-mata karena amanah Allah, yaitu dengan cara memainkan perannya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya.”(HR: Bukhari dan Muslim)






BAB III
 PENUTUP
Kesimpulan
Siasaht memiliki pengertian memberi petunjuk, arahan, disiplin, suruhan dan larangan. Siasaht di dalam al-quran tidaklah diatur secara rinci,tetapi hanya dibahas secara umum. Penjelasan siasaht dan al-imamah banyak terdapat didalam hadist Rasulullah SAW dan pendapat para ulama. Secara umum siasaht dibagi dua, yaitu Siasah Diniyyah dan Siasah ‘Aqliyyah.
Al-imamah berarti pemimpin atau setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan.menurut mayoritas para ulama berpendapat bahwa al-imamah adalah suatu yang wajib dilakukan. Syarat-syarat al-imamah meliputi islam,baliqh,berakal,adil,memiliki pengalaman dan kepribadian yang baik. Sementara tugas al-imamah mencakup menjaga dan melestarikan hukum-hukumkeagamaan, memerangimusuh yang mengancam keamanan negara dan bangsa, mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan negara, menjaga keamanan dan keadilan warganya.
Allah menciptakan manusia sebagai masterpiece di dunia ini,manusia di anugerahi gelar sebagai ahsanu takwim, sebaik-baiknya ciptaan. Tetapi,biarpun kita dijadikan khilafah di bumi Allah ini, jangan lupa bahwa kita merupakan hamba Allah yang lemah dan kita haruslah melaksanakan perintahnya.Semoga kita tetap didalam ridha-Nya.




DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, sayyid, fiqihsunnah, 2012, Jakarta, Al-I’tishom
Az-zuhaili, wahbah, fiqihislamwaadillatuhujilid 8, 1997,  beirut, Darulfikir
Ad Damiji, Abdullah ibn Umar, 1409 H, Al imamah Al u’dzma, Riyadz, Darut Thibah. DewanRedaksi Ensiklopedi Islam. Eksiklopediislam1999. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
http://www.wikipedia.co.id






[1]. Sabiq, sayyid, fiqihsunnah, 2012, Jakarta, Al-I’tishom, hal 76
[2]http://www.wikipedia.co.idDiakses pada harikamis 27-03-2014.
[3].http://www.islam.gov.my. Diakses pada hari sabtu tgl 29 -03-2014,
[4]Abdullah ibn Umar Ad Damiji, 1409 H, AL IMAMAH AL U’DZMA, Riyadz, Darut Thibah, hlm: 27-29
[5]Ibid, hlm 32
[6]Wahbah Zuhaili, 1997, AL FIQHUL ISLAMI  WA ADILLATUH vol 8,  Beirut; Darul Fikri, hlm: 6148
[7]Ibid
[8]. Wahbah Zuhaili, Op.Cit, hlm: 6169
[9].Abdullah ibn Umar, Op.Cit, hlm:  184