Senin, 31 Maret 2014

makalah fiqh, tentang 'ashabah dan dzawil arham





















BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya pemindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewarisakan, setelah yang bersangkutan wafat kepada penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’.
Didalam  aturan kewarisan, ahli waris seperti li’an darah dibagi menjadi tiga  golongan, yaitu: dzawil furudh, ashobah dan dzawil arham. Disini kami akan membahas tentang ‘Ashabah dan dzawil arham. Untuk memberikan warisan kepada ahli waris.











BAB 2
PEMBAASAN
A.    ‘Ashabah
Ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ‘ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis di berikan kepada ahli waris ashab al-furudl.
Di dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian warisan ini, maka ahli waris ‘ashabah yang peringkat kekerabatannya berada di bawahnya, tidak mendapatkan bagian. Dasar pembagian ini adalah perintah Rasulullah Saw. Sebagai berikut:
أَلْحِقُوا الفَرَئِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلاَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه )
“Berikanlah bagian-bagian tertentu  kepada ahli waris yang berhak, maka sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama.” (Muttafaq ‘alaih)

Adapun macam-macam ahli waris ‘ashabah ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1.      ‘Ashabah bi nafsih
Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ‘ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah(orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu:[1]

·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari garis laki-laki
·         Bapak
·         Kakek (dari garis bapak)
·         Saudara laki-laki sekandung
·         Saudara laki-laki seayah
·         Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
·         Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
·         Paman sekandung
·         Paman seayah
·         Anak laki-laki paman sekandung
·         Anak laki-laki paman seayah
·         Mu’tiq dan mu’tiqah
Dalil pewarisan mereka adalah firman Allah SWT :
يُوصِيكُمُ اللهُ فِى اَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ......
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadammu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…..” (an-Nisaa’:11)[2]

2.      ‘Ashabah bi al ghair
Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris penerima “ashabah bi al-ghair tersebut adalah:[3]

·         Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki;
·         Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki;
·         Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung;
·         Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah;
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘ashabah. Maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasarnya adalah firman Allah Swt:
وَاِنْ كَانُوْا اِخْوَةً رَّجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظَّ الأُنْثَيَيْنِ (النساء       )
“jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan…” (an-Nisaa’: 176).

3.      ‘Ashabah ma’a al-ghair
Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris yang menerima bagian ‘ashabah ma’a al-ghair adalah:[4]
·         Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seoranng atau lebih).
·         Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih)

B.     Dzawil Arham
Dalam penggertian umum, istilah dzawi al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan karena huubungan darah dengan si mati (al-muwarrits). Ini sesuai dengan petunjuk umum dari ayat di bawah ini:
وَاُولُوا الأَرْحِامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله (الأنفل      )
“orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat, sebagian mereka adalah lebih berhak daripada sebagian mereka (yang lain) di dalam kitab Allah.” (QS Al-Anfal:75)[5]
Dzawil Arhaam itu adda empat golongan, sebagiannya didahulukan atas sebagian yang lain di dalam pewarisan, menurut tertib berikut:
1.      Anak-anak laki-laki dari anak-anak  perempuan dan seterusnya kebawah, dan anak-anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
2.      Kakek yang tidak shahih dan seterusnya diatas.
3.      Anak dari saudara-saudara laki-laki seibu dan anak-anak mereka tersebut sampai ke bawah, anak laki-laki dari saudara perempuan seibu seayah atau seibu saja atau seayah saja dan seterusnya ke bawah, anak-anak perempuan atau seibu saja atau saudara-saudara perempuan seibu seayah atau seayah saja dan seterusnya ke bawah, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki seayah seibu saja dan anak-anak mereka terus ke bawah, anak-anak perempuan dari anak laki-laki dan saudara-saudara laki-laki seayah seibu atau seayah saja dan seterusnya.[6]



4.      Golongan keempat.
Golongan keempat ini meliputi kelompok-kelompok yang sebahagiannya didahulukan atas sebahagian lain didalamnya pewarisan menurut tertib berikut :
1.      Saudara-saudara laki-laki ayah (‘amm), saudara-saudara perempuan ayah (‘ammah), saudara-saudara laki-laki ibu (khaal), saudara-saudara perempuan ibu (khaalah), yang sekandung, seayah ataupun seibu.
2.      Anak laki-laki dari orang-orang lelaki yang disebutkan pada alinea terdahulu dan seterusnya kebawah,anak-anak perempuan dari ‘am-am si mayit yang seayah-seibu atau seayah saja, dan anak perempuan dari anak laki-laki mereka dan seterusnya kebawah.
3.      ‘Amm-amm dari ayah simayit yang seibu dan ‘ammah-ammmahnya, khaal-khaalnya dan khaalah-khaalahnya yang seayah seibu,atau seayah saja atau seibu saja, ‘amm-‘amm ibu si mayit dan ‘ammah-‘ammah yang seayah seibu atau seayah saja, atau seibu saja.
4.      Anak laki-laki dari orang laki-laki yang disebutkan pada alinea terdahulu dan seterusnya kebawah. Anak-anak perempuan dari ‘amm-‘amm ayah si mayit yang seayah seibu atau seayah saja,dan anak-anak perempuan dari anak –anak laki-laki mereka dan seterusnya kebawah, dan anak laki-laki dari orang –orang perempuan yang isebutkan terdahulu dan seterusnya kebawah.
5.      ‘Amm-amm ayah dari ayah si mayit yang seibu, ‘amm-‘amm ayah dari ibu si mayit dan ‘ammah-‘ammah dari keduanya. Khaal-khaal keduanya, dan khaalah-khaalah keduanya yang seayah seibu, atau seayah saja atau seibu saja. Dan ‘amm-‘amm ibu dari ibu si mayit, dan ibu dari ayahnya, ‘ammah-‘ammah dari keduanya, dan khaala-khaala dari keduanya yang kandung, atau seayah saja atau seibu saja.

6.      Anak-anak laki-laki dari orang laki-laki yang disebutkan pada alinea terdahulu dan seterusnya kebawah. Anak-anak perempuan dari ‘amm-‘amm ayah dari ayah si mayit yang kandung,atau seayah saja, dan anak-anak perempuan dari anak laki-laki mereka dan seterusnya kebawah: serta anak laki-laki dari orang orang perempuan yang disebutkan diatas, dan seterusnya kebawah.dan demikianlah seterusnya.















BAB 3
PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ‘ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis di berikan kepada ahli waris ashab al-furudl.
b.      Dalam penggertian umum, istilah dzawi al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan karena huubungan darah dengan si mati (al-muwarrits).
c.       ‘Ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ‘ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah(orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya),
d.      ‘Ashabah bi al ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah).
e.       ‘Ashabah bi al ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah).


     

DAFTAR PUSTAKA
Rofiq Ahmad. “Fiqih Mawaris”.2011.Jakarta.Raja Grafindo Persada
Sarong Hamid,dkk. “Fiqih”.2009.Banda Aceh.Pusat Study Wanita.
Az-Zuhaili Wahbah. “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”.2011.Jakarta.Gema Insani.





[1] Rofiq Ahmad. “Fiqh Mawaris”.2011.Jakarta.RajaGrafindoPersada.hal:74.
[2] Az-Zuhaili Wahbah. “Fiqih Islam Wa Adillatuhu.2011.Jakarta.Gema Insani. Hal:416.
[3] Rofiq Ahmad. “Fiqh Mawaris”.2011.Jakarta.RajaGrafindoPersada hal :74
[4] Rofiq Ahmad. “Fiqh Mawaris”.2011.Jakarta.RajaGrafindoPersada hal:75
[5] Rofiq Ahmad. “Fiqh Mawaris”.2011.Jakarta.RajaGrafindoPersada. hal :78
[6]Sarong Hamid, dkk. “Fiqh”. 2009.Banda Aceh.Pusat Study Wanita. Hal :248 



















BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya pemindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewarisakan, setelah yang bersangkutan wafat kepada penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’.
Didalam  aturan kewarisan, ahli waris seperti li’an darah dibagi menjadi tiga  golongan, yaitu: dzawil furudh, ashobah dan dzawil arham. Disini kami akan membahas tentang ‘Ashabah dan dzawil arham. Untuk memberikan warisan kepada ahli waris.











BAB 2
PEMBAASAN
A.    ‘Ashabah
Ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ‘ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis di berikan kepada ahli waris ashab al-furudl.
Di dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian warisan ini, maka ahli waris ‘ashabah yang peringkat kekerabatannya berada di bawahnya, tidak mendapatkan bagian. Dasar pembagian ini adalah perintah Rasulullah Saw. Sebagai berikut:
أَلْحِقُوا الفَرَئِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلاَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه )
“Berikanlah bagian-bagian tertentu  kepada ahli waris yang berhak, maka sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama.” (Muttafaq ‘alaih)

Adapun macam-macam ahli waris ‘ashabah ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1.      ‘Ashabah bi nafsih
Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ‘ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah(orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu:[1]

·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari garis laki-laki
·         Bapak
·         Kakek (dari garis bapak)
·         Saudara laki-laki sekandung
·         Saudara laki-laki seayah
·         Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
·         Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
·         Paman sekandung
·         Paman seayah
·         Anak laki-laki paman sekandung
·         Anak laki-laki paman seayah
·         Mu’tiq dan mu’tiqah
Dalil pewarisan mereka adalah firman Allah SWT :
يُوصِيكُمُ اللهُ فِى اَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ......
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadammu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…..” (an-Nisaa’:11)[2]

2.      ‘Ashabah bi al ghair
Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris penerima “ashabah bi al-ghair tersebut adalah:[3]

·         Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki;
·         Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki;
·         Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung;
·         Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah;
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘ashabah. Maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasarnya adalah firman Allah Swt:
وَاِنْ كَانُوْا اِخْوَةً رَّجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظَّ الأُنْثَيَيْنِ (النساء       )
“jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan…” (an-Nisaa’: 176).

3.      ‘Ashabah ma’a al-ghair
Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris yang menerima bagian ‘ashabah ma’a al-ghair adalah:[4]
·         Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seoranng atau lebih).
·         Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih)

B.     Dzawil Arham
Dalam penggertian umum, istilah dzawi al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan karena huubungan darah dengan si mati (al-muwarrits). Ini sesuai dengan petunjuk umum dari ayat di bawah ini:
وَاُولُوا الأَرْحِامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله (الأنفل      )
“orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat, sebagian mereka adalah lebih berhak daripada sebagian mereka (yang lain) di dalam kitab Allah.” (QS Al-Anfal:75)[5]
Dzawil Arhaam itu adda empat golongan, sebagiannya didahulukan atas sebagian yang lain di dalam pewarisan, menurut tertib berikut:
1.      Anak-anak laki-laki dari anak-anak  perempuan dan seterusnya kebawah, dan anak-anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
2.      Kakek yang tidak shahih dan seterusnya diatas.
3.      Anak dari saudara-saudara laki-laki seibu dan anak-anak mereka tersebut sampai ke bawah, anak laki-laki dari saudara perempuan seibu seayah atau seibu saja atau seayah saja dan seterusnya ke bawah, anak-anak perempuan atau seibu saja atau saudara-saudara perempuan seibu seayah atau seayah saja dan seterusnya ke bawah, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki seayah seibu saja dan anak-anak mereka terus ke bawah, anak-anak perempuan dari anak laki-laki dan saudara-saudara laki-laki seayah seibu atau seayah saja dan seterusnya.[6]



4.      Golongan keempat.
Golongan keempat ini meliputi kelompok-kelompok yang sebahagiannya didahulukan atas sebahagian lain didalamnya pewarisan menurut tertib berikut :
1.      Saudara-saudara laki-laki ayah (‘amm), saudara-saudara perempuan ayah (‘ammah), saudara-saudara laki-laki ibu (khaal), saudara-saudara perempuan ibu (khaalah), yang sekandung, seayah ataupun seibu.
2.      Anak laki-laki dari orang-orang lelaki yang disebutkan pada alinea terdahulu dan seterusnya kebawah,anak-anak perempuan dari ‘am-am si mayit yang seayah-seibu atau seayah saja, dan anak perempuan dari anak laki-laki mereka dan seterusnya kebawah.
3.      ‘Amm-amm dari ayah simayit yang seibu dan ‘ammah-ammmahnya, khaal-khaalnya dan khaalah-khaalahnya yang seayah seibu,atau seayah saja atau seibu saja, ‘amm-‘amm ibu si mayit dan ‘ammah-‘ammah yang seayah seibu atau seayah saja, atau seibu saja.
4.      Anak laki-laki dari orang laki-laki yang disebutkan pada alinea terdahulu dan seterusnya kebawah. Anak-anak perempuan dari ‘amm-‘amm ayah si mayit yang seayah seibu atau seayah saja,dan anak-anak perempuan dari anak –anak laki-laki mereka dan seterusnya kebawah, dan anak laki-laki dari orang –orang perempuan yang isebutkan terdahulu dan seterusnya kebawah.
5.      ‘Amm-amm ayah dari ayah si mayit yang seibu, ‘amm-‘amm ayah dari ibu si mayit dan ‘ammah-‘ammah dari keduanya. Khaal-khaal keduanya, dan khaalah-khaalah keduanya yang seayah seibu, atau seayah saja atau seibu saja. Dan ‘amm-‘amm ibu dari ibu si mayit, dan ibu dari ayahnya, ‘ammah-‘ammah dari keduanya, dan khaala-khaala dari keduanya yang kandung, atau seayah saja atau seibu saja.

6.      Anak-anak laki-laki dari orang laki-laki yang disebutkan pada alinea terdahulu dan seterusnya kebawah. Anak-anak perempuan dari ‘amm-‘amm ayah dari ayah si mayit yang kandung,atau seayah saja, dan anak-anak perempuan dari anak laki-laki mereka dan seterusnya kebawah: serta anak laki-laki dari orang orang perempuan yang disebutkan diatas, dan seterusnya kebawah.dan demikianlah seterusnya.















BAB 3
PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ‘ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis di berikan kepada ahli waris ashab al-furudl.
b.      Dalam penggertian umum, istilah dzawi al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan karena huubungan darah dengan si mati (al-muwarrits).
c.       ‘Ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ‘ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah(orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya),
d.      ‘Ashabah bi al ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah).
e.       ‘Ashabah bi al ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah).


     

DAFTAR PUSTAKA
Rofiq Ahmad. “Fiqih Mawaris”.2011.Jakarta.Raja Grafindo Persada
Sarong Hamid,dkk. “Fiqih”.2009.Banda Aceh.Pusat Study Wanita.
Az-Zuhaili Wahbah. “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”.2011.Jakarta.Gema Insani.




[1] Rofiq Ahmad. “Fiqh Mawaris”.2011.Jakarta.RajaGrafindoPersada.hal:74.
[2] Az-Zuhaili Wahbah. “Fiqih Islam Wa Adillatuhu.2011.Jakarta.Gema Insani. Hal:416.
[3] Rofiq Ahmad. “Fiqh Mawaris”.2011.Jakarta.RajaGrafindoPersada hal :74
[4] Rofiq Ahmad. “Fiqh Mawaris”.2011.Jakarta.RajaGrafindoPersada hal:75
[5] Rofiq Ahmad. “Fiqh Mawaris”.2011.Jakarta.RajaGrafindoPersada. hal :78
[6]Sarong Hamid, dkk. “Fiqh”. 2009.Banda Aceh.Pusat Study Wanita. Hal :248

Tidak ada komentar:

Posting Komentar